Kamis, 30 Agustus 2012

Badal Umroh dan Haji

Mengenal Lebih Jauh tentang Badal Haji dan Umroh

Secara bahasa, badal haji atau haji badal berarti amanah haji atau menghajikan orang lain. Dalam terminologi fikih, badal haji adalah haji yang dilakukan seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal atau karena adanya uzur syar’i, baik rohani maupun jasmani.

Dengan kata lain, haji badal muncul berkaitan dengan seseorang yang telah dikategorikan wajib haji (terutama dari segi ekonomi) tapi tidak mampu melakukannya sendiri karena adanya halangan yang dilegalkan oleh syariat Islam.
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa badal haji dilakukan dalam salah satu dari dua kondisi; ketika yang diwakilkan masih hidup atau yang diwakilkan telah meninggal dunia.

Berkenaan dengan kondisi pertama, para ulama berbeda pendapat akan kebolehannya. Imam Hanafi, Syafi’i dan Hanbali membolehkannya dengan syarat orang tersebut memiliki uzur syar’i yang berlaku seumur hidupnya, atau setidaknya diduga akan berlangsung seumur hidup. Contohnya orang lanjut usia atau yang menderita sakit tanpa harapan sembuh, yang karena telah memiliki kemampuan secara ekonomi masuk dalam kategori wajib haji.

Para imam tersebut juga sepakat bahwa hilangnya uzur yang menghalangi seseorang untuk menunaikan haji sendiri juga menghilangkan hakya untuk mewakilkan pelaksanaan ibadah tersebut kepada orang lain.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh para Imam mazhab tersebut dalam kondisi kedua, yaitu ketika orang yang diwakilkan telah meninggal dunia. Perbedaan pendapat di antara mereka hanya terjadi dalam kasus apakah biaya pelaksanaannya diambil dari harta peninggalan si mayit atau dari ahli warisnya. Imam mazhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan biaya pelaksanaannya dapat diambil dari harta peninggalannya. Sedangkan para pengikut Imam Hanafi menyatakan bahwa biayanya diambil dari harta ahli waris.
Para ulama ketiga mazhab tersebut mendasarkan pendapat mereka kepada hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut. Di antara hadits-hadits yang memperbolehkan perwakilan pelaksanaan haji dari orang yang masih hidup adalah hadits yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal, At-Tirmidzi, Daruquthni dan Abu Daud.

Bahwa seorang wanita dari Khas’am bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, salah satu kewajiban Allah kepada hamba-Nya adalah haji. Ayah saya sekarang sudah sangat tua, tidak lagi sanggup duduk di atas kendaraan. Apakah aku boleh menunaikan ibadah haji atas namanya?” “Boleh,” jawab Rasulullah.

Adapun hadits yang berkaitan dengan diperbolehkannya orang yang telah meninggal untuk dihajikan adalah dari Ibnu Abbas RA. Diriwayatkan bahwa seorang wanita dari Juhainah berkata kepada Rasulullah, “Ibu saya bemadzar untuk menunaikan ibadah haji pada tahun ini. Tapi ia sudah wafat sebelum sempat melaksanakannya. Bolehkah saya menunaikannya untuk beliau?” Rasulullah menjawab, “Ya, hajikan dia. Bukankah jika ibumu memiliki hutang kepada orang lain engkau wajib melunasinya? Lunasilah hutang Allah, karena hutang-Nya lebih berhak untuk dilunasi!” (HR. Bukhari).

Berbeda dengan ketiga mazhab di atas, mazhab Maliki tidak membenarkan perwakilan dalam ibadah haji dengan alasan walaupun haji merupakan ibadah gabungan antara ibadah fisik (badaniah) dan materi (maliyah) akan tetapi sisi fisiknya lebih menonjol dibandingkan sisi materinya. Dengan demikian, seorang yang mampu secara ekonomi tapi tertimpa uzur syar’i sehingga tidak dapat menunaikan ibadah haji sendiri, tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji.

Begitu pula dengan orang yang telah meninggal, kecuali jika orang tersebut meninggalkan wasiat kepada ahli warisnya untuk mengerjakan haji. Dan biaya pelaksanaannya diambil dari sepertiga harta yang ditinggalkannya.

Kumpulan Hadist yang berkaitan Badal Haji.

1. Hadist riwayat Ibnu Abbas "Seorang perempuan dari kabilah Khats'am bertanya kepada Rasulullah "Wahai Rasulullah ayahku telah wajib Haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan apakah boleh aku melakukan ibadah haji untuknya?" Jawab Rasulullah "Ya, berhajilah untuknya" (H.R. Bukhari Muslim dll.).

2. Hadist riwayat Ibnu Abbas " Seorang perempuan dari bani Juhainah datang kepada Rasulullah s.a.w. bertanya "Rasulullah!, Ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal padahal dia belum melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku bisa menghajikannya?. Rasulullah menjawab "Hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya hutang kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah hutang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi" (H.R. Bukhari & Nasa'i).

3. "Seorang lelaki datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata "Ayahku meninggal, padahal dipundaknya ada tanggungan haji Islam, apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab "Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan hutang kamu juga wajib membayarnya ? "Iya" jawabnya. Rasulullah berkata :"Berahjilah untuknya". (H.R. Dar Quthni)

 4. Riwayat Ibnu Abbas, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah s.a.w. mendengar seorang lelaki berkata "Labbaik 'an Syubramah" (Labbaik/aku memenuhi pangilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya "Siapa Syubramah?". "Dia saudaraku, Rasulullah", jawab lelaki itu. "Apakah kamu sudah pernah haji?" Rasulullah bertanya. "Belum" jawabnya. "Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah", lanjut Rasulullah. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Dar Quthni dengan tambahan "Haji untukmu dan setelah itu berhajilah untuk Syubramah". Hukum menyewa orang untuk melaksanakan haji (badal haji): Mayoritas ulama Hanafi mengatakan tidak boleh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, seperti juga tidak boleh mengambil upah dalam mengajarkan al-Qur'an. Dalam sebuah hadist riwayat Ubay bin Ka'ab pernah mengajari al-Qur'an lalu ia diberi hadiah busur, Rasulullah bersabda "Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu, ya ambil saja".(H.R. Ibnu Majah). Rasulullah juga berpesan kepada Utsman bin Abi-l-Aash agar jangan mengangkat muadzin yang meminta upah" (H.R. Abu Dawud).

Sebagian ulama Hanafi dan mayoritas ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh saja menyewa orang melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang boleh diwakilkan, dengan landasan hadist yang mengatakan "Sesungguhkan yang layak kamu ambil upah adalah Kitab Allah" (Dari Ibnu Abbas H.R. Bukhari). dan hadist-hadiat yang mengatakan boleh mengambil upah Ruqya (pengobatan dengan membaca ayat al-Qur;an). Ulama yang mengatakan boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji, berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun orang yang belum meninggal. Ulama Maliki mengatakan makruh menyewa orang melaksanakan ibadah haji, karena hanya upah mengajarkan al-Qur'an yang diperbolehkan dalam masalah ini menurutnya. Menyewa orang melaksanakan ibadah haji juga hanya boleh untuk orang yang telah meninggal dunia dan telah mewasiatkan untuk menyewa orang melakukan ibadah haji untuknya. Kalau tidak mewasiatkan maka tidak sah.

Syarat-syarat menghajikan orang lain :

1. Niat menghajikan orang lain dilakukan pada saat ihram. Dengan
   mengatakan, misalnya, "Aku berniyat melaksanakan ibadah haji atau umrah  
   ini untuk si fulan".

2. Orang yang dihajikan tidak mampu melaksanakan ibadah haji, baik karena
    sakit atau telah meninggal dunia. Halangan ini, bagi orang yang sakit,  
   harus tetap ada hingga waktu haji, kalau misalnya ia sembuh sebelum waktu
   haji, maka tidak boleh digantikan.

3. Telah wajib baginya haji, ini terutama secara finansial.

4. Harta yang digunakan untuk biaya orang yang menghajikan adalah milik
    orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.

5. Sebagian ulama mengatakan harus ada izin atau perintah dari pihak yang
   dihajikan. Ulama Syafi'i dan Hanbali mengatakan boleh menghajikan orang
   lain secara sukarela, misalnya seorang anak ingin menghajikan orang tuanya
   yang telah meninggal meskipun dulu orang tuanya tidak pernah mewasiatkan
   atau belum mempunyai harta untuk haji.

6. Orang yang menghajikan harus sah melaksanakan ibadah haji, artinya akil 
    baligh dan sehat secara fisik.

7. Orang yang menghajikan harus telah melaksanakan ibadah haji, sesuai dalil
    di atas. Seorang anak disunnahkan menghajikan orang tuanya yang telah 
    meninggal atau tidak mampu lagi secara fisik. Dalam sebuah hadist 
   Rasulullah berkata kepada Abu Razin "Berhajilah untuk ayahmu dan
   berumrahlah". Dalam riwayat Jabir dikatakan "Barang siapa menghajikan
   ayahnya atau ibunya, maka ia telah menggugurkan kewajiban haji keduanya
  dan ia mendapatkan keutamaan sepuluh haji". Riwayat Ibnu Abbas
  mengatakan "Barangsiapa melaksanakan haji untuk kedua orang tuanya atau
  membayar hutangnya, maka ia akan dibangkitkan di hari kiamat nanti 
  bersama orang-orang yang dibebaskan" (Semua hadist riwayat Dar Quthni).


(Seorang petugas haji memperlihatkan sertifikat badal haji yang diberikan kepada keluarga jemaah haji Indonesia yang wafat dan sakit sehingga tidak bisa wukuf. Sertifikat badal haji dikeluarkan PPIH Arab Saudi, di Daker Mekkah)

 Yang perlu diperhatikan:
Tidak boleh banyak orang (dua orang atau lebih) sekaligus dibadalkan hajinya sebagaimana yang terjadi saat ini dalam hal kasus badal haji. Orang yang dititipi badal, malah menghajikan lima sampai sepuluh orang karena keinginannya hanya ingin dapat penghasilan besar. Jadi yang boleh adalah badal haji dilakukan setiap tahun hanya untuk satu orang yang dibadalkan. (Lihat bahasan di: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/fatwa/69.htm)


Waalahu a'alam.
Sumber: dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar